Goes to Kampung Laut
Tanggal 29 januari 2011 menjadi moment mengesankan. Dimana waktu itu pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bumi ujung alang, Ketika itu aku mengikuti Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) yang dilaksanakan oleh mahasiswa / I Ma’had Aly Al Hikmah Semester 3. Daerah yang terletak di tengah-tengah laut yang berdekatan dengan pulau Nusakambangan, menjadi tempat kegiatan KPM kala itu. Kampung laut nama kecamatan dan Cilacap kabupatennya. Menurut cerita orang-orang desa, kampung laut dulu benar-benar daerah berada di atas air laut. Dengan membangun rumah panggung sebagai tempat tinggal. Berbeda dengan keadaan sekarang, Kampung laut seakan sudah disulap menjadi kampung yang benar-benar berupa daratan dan tidak ada lagi yang namanya rumah panggung, tapi rumah-rumah tembok dan sebagian ada juga yang masih menggunakan kayu. Walaupun begitu, ketika air laut pasang, air laut akan masuk ke dalam rumah. Tapi ada saja ide cemerlang untuk menghadapi problema itu. Bagian dalam rumah ternyata dibuat lebih tinggi dari daratan yang di luar rumah. Sehingga genangan air tidak sampai membasahi perabotan rumah, dan si penghuni pun merasa nyaman bila malam hari ataupun siang hari air laut dalam kondisi pasang. Hal baiknya bila air laut pasang, mereka tidak bersusah payah membersihkan sampah di halaman karena sudah tersapu bersih oleh air pasang.
Berbicara masalah penerangan di waktu petang hari, di Ujung Alang khususnya ternyata masih sangat memprihatinkan. Karena sumber listrik di daerah tersebut masih menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Untuk wilayah Desa Ujung Alang yang terbagi atas Dusun Mothean, Paniten, dan sekitarnya, penerangan dilakukan secara bergiliran. Karena saking padatnya penduduk dan yang menggunakan fasilitas tersebut pun banyak pula. Untuk mengantisipasi keadaan itu warga akhirnya sepakat untuk menggunakan PLTS secara bergilir. Dengan membagi antara kampung sebelah utara dengan kampung sebelah selatan. jadi masing-masing kampung hanya mendapat penerangan PLTS dua hari sekali, itupun dari pukul 18.00 sampai PLTS mati dengan sendirinya. Seandainya siang hari cuaca cerah, PLTS mampu bertahan hingga 6 jam itupun untuk kampung bagian utara karena sedikit yang menggunakan PLTS. Berbeda dengan kampung sebelah selatan yang kebanyakan menggunakan PLTS ssehingga hanya mampu mengalirkan listrik selama 3 atau 4 jam. Selebihnya, alat penerangan diganti dengan lampu minyak, adapula yang menggunakan genset.
Air bersih yang merupakan kebutuhan pokok, dan sumber kehidupan juga masih sulit didapatkan. Paling tidak harus mengambil di tempat penampungan yang jaraknya juga cukup jauh. Dengan menggunakan perahu fliber mereka orang-orang ujung alang mengambil air. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak mengambil air sendiri biasanya membeli kepada pemasok air.
Mata pencaharian warga kampung laut rata-rata sebagai nelayan. Dengan berbekal jaring dan sampan, para nelayan dengan gigihnya mencari penghidupan. Ada yang mencari ikan, Udang , lobster, kepiting, tepus, dan lain sebagainya. Makanan laut yang jadi menu favorit saat makan adalah totok. Hewan ini bentuknya seperti kerang, kalau kita pernah makan keong, seperti itulah rasanya totok. Makhluk yang satu ini ternyata tak kalah favoritnya dengan ikan. Selain mudah di dapat, totokpun banyak diminati para warga desa. Bahkan ada sebagian orang yang berjualan totok. Harganya sangat terjangkau, Satu kilogram bisa mencapai tujuh sampai delapan ribu. Untuk mendapatkan totok bisa dibilang gampang-gampang susah. Jari-jari tangan kita harus rela kotor oleh lumpur. Karena totok ini ngumpet di dalam lumpur. Mencari totok bisanya dilakukan juga oleh anak-anak, sambil berenang mereka kadang juga mencari totok. Asyik juga ternyata mencari totok di laut. Kalau nyari totoknya di daratan lumpur, kita harus menerobos masuk ke semak-semak pohon bakau. Tak jarang lengan kita tergores duri-durian pohon bakau.
Banyak sekali permainan yang mengasikan di Ujung alang. Bermain dayung, berkeliling desa menggunakan perahu mesin. Mereka menyebutnya peraon ( berkeliling naik perahu). Kalau pas main dayung anak-anak suka usil, sampannya di balik akibatnya jatuh dan tenggelam. Itu bagian terasyik saat bermain dayung. Kalau yang main dayung banyak, sering juga balap dayung.
Meskipun daerah Kampung Laut ini bisa dibilang pesisir pantai, tapi masalah pendidikan sekolah ternyata lumayan juga. Ada PAUD, Sekolah Dasar ada tiga sekolah. SDN 1 dan SDN 3 Ujung Alang yang letaknya berdekatan. Bahkan satu kepala sekolah, satu lapangan, terletak di dusun Muthean. SD yang satunya lagi berada di dusun Mangun Jaya. Jaraknya jauh dari dusun Muthean. Kemudian SLTP hanya ada satu, di dusun Lempong Pucung. Serta SLTA di Kraces.
Untuk berkunjung ke Pulau tersebut kita harus menyeberangi laut dan menyusuri teluk sekitar 2 jam dari pelabuhan Sleko Cilacap sampai ke Dermaga Motheans. Dengan menggunakan compreng sarana transportasi penyebrangan. Bentuknya seperti perahu, terbuat dari kayu dan bermesinkan disel. Mampu menampung sekitar 50 orang. Alat inilah yang digunakan sebagai sarana pulang pergi dari Kampung Laut ke Kota Cilacap.
Tak ada yang menyangka, daerah yang berada jauh dari jantung kota ini memiliki banyak sekali tempat-tempat rekreasi. Tentunya masih alami dan berbau mistis pula. Gua massigit sella salah satunya. Gua ini konon merupakan petilasan Sunan Kali jaga. Kebanyakan pengunjung yang datang ke tempat itu, ada yang sengaja untuk bertamasya adapula sebagian yang bertujuan untuk bertapa di gua massigit sela. Katanya biar cepet kaya, cepet dapat jodoh, pangkat, dan lain-lain. Menurut cerita orang-orang sekitar, gua ini sering dijadikan tempat pemujaan orang-orang yang datang dari kota. Ketika memasuki gua tersebut, aroma bunga-bunga sesajen yang dipasang oleh para tetapa tercium menambah suasana jadi bertambah mistis. Sayangnya pemandangan di dalam gua tak sepenuhnya terlihat, karena gelap dan bila ingin melihat dinding-dinding gua musti kudu pakai lampu yang berwatt-watt.
Leave a Response »